Advertisement

Bendung Kayangan, Objek Wisata Alam Nan Syahdu Berpadu Legenda Rakyat

Uli Febriarni
Sabtu, 11 Agustus 2018 - 18:17 WIB
Nina Atmasari
Bendung Kayangan, Objek Wisata Alam Nan Syahdu Berpadu Legenda Rakyat Suasana tradisi Guyang Jaran yang digelar bersamaan dengan Kembul Sewu Dulur, beberapa waktu lalu. - Harian Jogja/Uli Febriarni

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO- Menoreh menyimpan rahasia keberadaan Bendung Kayangan, yang menawarkan pemandangan indah namun dengan suasana yang sederhana, alami, tak banyak diwarnai spot-spot buatan.

Bendung Kayangan terletak di Desa Pendoworejo Kecamatan Girimulyo, berada dalam jalur yang sama bagi wisatawan yang akan menuju Goa Kiskendo, Kedung Pedut dan sejumlah wisata air populer lainnya. Memasuki kawasan Bendung Kayangan, terlihat sejumlah homestay di sebelah kiri dan kanan. Ada juga gapura yang dibuat dari rangka bambu berbalur sulur-sulur dedaunan.

Advertisement

Tak jauh kemudian, suara gemericik air dan aliran air sungai begitu jelas terdengar. Kejutan lain, kalau sedang musim durian, di sini tercium samar-samar aroma durian yang menggoda. Bila ingin merasakan kesejukan air bendung, kita bisa menuruni sejumlah anak tangga yang tertata dari bebatuan. Berhati-hati dan perlahan, karena jalan berair dan banyak tanah becek. Setelah itu, meniti bambu yang dibuat menjadi seperti jembatan, menyeberangi sungai. Arus sungai menuju ke arah timur terlihat jelas dari permukaan air.

Di sebelah kiri tubuh kita, akan nampak sebuah batu menjulang tinggi, botak tanpa tanaman. Kecuali yang berada di tepian-tepiannya. Seperti dinding batu yang tergerus alat berat penambang, namun yang ini lebih alami dan terlihat cantik.

Kemunculan Bendung Kayangan tak lepas dari legenda masyarakat setempat mengenai kehadiran sosok Mbah Bei. Pada zaman dahulu, air di desa itu mengalami surut bila memasuki musim kemarau. Kemudian, seorang tokoh setempat bernama Bei Kayangan, setiap hari membendung air di Sungai Kayangan, sehingga air sungai tetap dapat digunakan untuk mengairi sawah, dan keperluan rakyat sehari-hari.

Pada perkembangan selanjutnya, penjajah kolonial mulai masuk ke Nusantara dan Bendung Kayangan dibikin jadi bangunan permanen. Dulunya, Sungai Kayangan itu menurut pemangku adat Bendung Kahyangan, Sri Mulyono punya aliran air yang mencapai wilayah Kalibawang. Namun, semenjak dibangunnya Selokan Mataram, aliran Sungai Kayangan hanya melayani daerah-daerah di area bawah.

Mulyono mengatakan, memasuki masa yang disebut rebo pungkasan, di Bendung Kayangan diselenggarakan tradisi Kembul Sewu Dulur. Kembul Sewu Dulur menjadi cara warga untuk menyampaikan rasa syukur, atas limpahan berkah dari Tuhan. Selain itu, ada sejarah leluhur warga setempat, yang ingin terus diingat oleh masyarakat.

Ya, sejarah seorang tokoh setempat yang dikenal dengan nama Bei Kayangan. Keberadaan dirinya, erat kaitannya dengan kehadiran bendung kayangan dan tradisi kembul sewu dulur.

"Di suatu Rabu kala dulu sekali, Mbah Bei tidak tampak hadir kenduri dan warga setempat menduga ia telah meninggal dan bersemayam di kayangan. Sejak saat itu, maka tempat yang saat ini menjadi lokasi kembul sewu dinamakan Bendung Kayangan," ujar Mul, beberapa waktu lalu.

Dalam acara Kembul Sewu Dulur, warga menyantap makanan bersama yang dibawa dari rumah mereka, termasuk juga beragam camilan. Dalam bahasa Jawa, kata ‘kembul’ sendiri memang memiliki arti bersama, sedangkan ‘dulur’ adalah saudara. Inti dari Kembul Sewu Dulur adalah melakukan kegiatan bersama dengan orang-orang yang dianggap sudah seperti saudara sendiri. Budaya Kembul Sewu Dulur merupakan tradisi untuk memperingati saparan rebo pungkasan.

Ia menambahkan, menu-menu kenduri yang dibawa dan disantap bersama, adalah wujud rasa syukur masyarakat atas limpahan berkah dari Tuhan. Menu-menu terdiri dari beragam makanan hasil olahan warga di rumah, yang dibawa ke tepian bendung.

Tradisi Kembul Sewu Dulur bisa dilihat dan diikuti oleh wisatawan yang beruntung, datang ke Bendung Kayangan tepat saat rebo pungkasan. Nantinya, sembari warga makan kembul, dilangsungkan pula ritual Guyang Jaran atau membersihkan kuda lumping yang juga jadi kesenian masyarakat setempat. Ritual ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri sebelum menjalani kehidupan di bulan-bulan selanjutnya setelah Sapar.

Hanya memang, masih sedikit sekali tersedia tempat sampah di lokasi Bendung Kayangan, begitu juga keterbatasan jumlah toilet. Namun harapannya, wisatawan tidak membuang sampah sembarangan, apalagi membuangnya ke aliran sungai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Stok dan Jadwal Donor Darah di Jogja Hari Ini, Jumat 19 April 2024

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 11:37 WIB

Advertisement

alt

Stres Bekerja Juga Sebabkan Sakit Punggung Loh!

Lifestyle
| Jum'at, 19 April 2024, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement