Advertisement
Sejarah Candi Cetho di Lereng Gunung Lawu yang Sarat Makna
Pengunjung beraktivitas di kawasan Candi Cetho di Karanganyar, Jawa Tengah. ANTARA - Maulana Surya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Asal usul Candi Cetho menjadi sorotan karena situs Hindu abad ke-15 di lereng Gunung Lawu ini menyimpan sejarah penting Majapahit serta panorama alam yang khas, menjadikannya destinasi budaya yang terus menarik wisatawan.
Candi ini terletak di lereng barat Gunung Lawu, pada ketinggian 1.496 meter di atas permukaan laut, termasuk dalam salah satu candi tertinggi di Indonesia bersama dengan Candi Arjuna, Candi Gedong Songo, dan Candi Ijo.
Advertisement
Candi bercorak agama Hindu ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang berdiri sekitar abad ke-15 dan diyakini sebagai tempat moksa Raja Majapahit, Brawijaya V.
Asal usul Candi Cetho diambil dari nama desa tempat berdirinya, yaitu Desa Cetho yang berasal dari Bahasa Jawa dan memiliki arti “nampak dengan jelas”. Nama tersebut dimaknai bahwa ketika seseorang berada di Candi Cetho, maka pandangannya dengan jelas bisa melihat panorama alam indah di sekitar desa ini dari ketinggian.
BACA JUGA
Candi Cetho dibangun menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpaham Hindu. Pada waktu itu, para pengikut setianya melarikan diri ke lereng Gunung Lawu, kemudian mendirikan Candi Cetho, dikutip dari Buku Pengayaan Seri Rumah Peradaban.
Candi Cetho pertama kali ditemukan oleh arkeolog Belanda, Van der Vlis, pada 1842. Penelitian ini kemudian diteruskan oleh W.F. Stuterheim, K.C. Crucq, dan A.J. Bernet Kempers.
Kondisi candi ini saat pertama kali ditemukan berupa reruntuhan batu yang berserakan dengan 14 teras bertingkat yang memanjang dari barat (paling rendah) ke timur serta tertutup lumut. Namun kini hanya tersisa 13 teras dengan pola susunan makin ke belakang makin tinggi dan bagian tertinggi dianggap paling suci.
Candi Cetho menghadap ke puncak Gunung Lawu. Puncak gunung dalam keyakinan masyarakat masa silam adalah tempat suci sebagai lokasi bersemayam para dewa. Gunung Lawu memiliki arti penting bagi masyarakat Jawa Kuno dan aliran kejawen.
Candi Cetho dibentuk sebagai tempat melaksanakan ruwatan atau pembebasan diri dari kutukan maupun bahaya. Hal ini tampak melalui simbol dan mitologi pada arca-arcanya.
Pada 1978, Candi Cetho dipugar, tetapi tidak mengikuti metode standar pemugaran arkeologi sehingga mengubah banyak struktur aslinya. Akibatnya, teras Candi Cetho kini hanya tersisa 9 teras.
Setiap teras memiliki tingkatan yang berbeda. Teras pertama merupakan teras paling rendah diikuti teras kedua hingga teras kesembilan yang posisinya makin tinggi.
Pada teras pertama, halaman Candi Cetho memiliki gapura besar hasil penambahan saat pemugaran serta dua arca penjaga. Naik ke teras kedua, terdapat satu petilasan leluhur masyarakat setempat.
Di teras ketiga terdapat batu mendatar yang disusun membentuk kura-kura raksasa yang diperkirakan merupakan lambang Majapahit (Surya Majapahit) serta simbol phallus sepanjang dua meter. Kura-kura melambangkan penciptaan alam semesta, sementara phallus melambangkan penciptaan manusia.
Selain itu terdapat penggambaran hewan atau sengkalan memet sebagai catatan dimulainya pembangunan candi.
Naik ke teras keempat, terdapat relief kisah Samudramanthana dan Garudeya yang menguatkan fungsi Candi Cetho sebagai tempat peruwatan.
Pada teras kelima dan keenam terdapat bangunan berupa pendapa yang digunakan untuk upacara keagamaan.
Teras ketujuh memiliki dua arca di sisi utara dan selatan, yaitu arca Sabdapalon dan Nayagenggong. Di teras kedelapan terdapat arca phallus “kuntobimo” dan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa.
Teras kesembilan atau teras tertinggi digunakan untuk pemanjatan doa umat Hindu. Area ini tidak dibuka setiap saat, melainkan hanya pada acara tertentu.
Saat ini, Candi Cetho menjadi tempat wisata sekaligus lokasi peribadatan umat Hindu. Melansir Pesona Karanganyar, Candi Cetho buka setiap hari pukul 08.00–17.00 WIB dengan tiket masuk Rp10.000 untuk wisatawan domestik dan Rp30.000 untuk wisatawan mancanegara.
Selain sebagai objek wisata budaya, kawasan Candi Cetho juga menjadi salah satu jalur pendakian Gunung Lawu, sehingga asal usul Candi Cetho semakin dikenal luas sebagai perpaduan sejarah, religi, dan alam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- GPIB Marga Mulya di Jogja Dibuka untuk Wisata Arsitektur Indis
- Cara Bersihkan Koper Usai Liburan agar Bebas Bakteri dan Bau
- Wisata DEB Balkondes Karangrejo Borobudur Ditawarkan ke Eropa
- Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
- GIPI Sebut UU Kepariwisataan Baru Sejarah Kelam, Ini Alasannya
Advertisement
Aktivitas Vulkanik Gunung Merapi Meningkat, Muncul 3 Awan Panas
Advertisement
Ini Makanan dan Minuman yang Bisa Menghambat Metabolisme
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement



