Advertisement

Icip-Icip Wedang Tahu, Kuliner Ikon Akulturasi Budaya di Semarang

newswire
Senin, 16 Juli 2018 - 18:35 WIB
Maya Herawati
Icip-Icip Wedang Tahu, Kuliner Ikon Akulturasi Budaya di Semarang Wedang Tahu - ist/crypstory

Advertisement

Harianjogja.com, SEMARANG—Jika  Anda piknik ke Semarang, jangan lupa icip-icip wedang tahu. Kuliner yang satu ini telah ada sejak Abad 8 Masehi. Kuliner ini bisa dengan mudah didapat di kawasan pecinan Kota Semarang.

Di sana Anda juga bisa menikmati beberapa gedung yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun seperti Kelenteng Siu Hok Bio yang berdiri sejak sekitar 1753, pengunjung juga dapat mencicipi makanan khas yang dijajakan di Pasar Semawis.

Advertisement

Pasar Semawis, Semawis kependekan dari Semarang untuk Pariwisata, memang menjadi pusat wisata kuliner malam hari di Semarang. Disana, anda bisa menemukan banyak ragam makanan seperti es krim, aneka sate (termasuk sate gurita), soto dan nasi goreng.

Di salah satu pojok Pasar Semawis, Ani duduk dengan sabar di balik mangkuk-mangkuk dan sebuah panci besar. Di dalam tendanya tertulis besar Wedang Tahu. "Semangkuknya Rp8.000," ujar Ani ketika pembeli menanyakan harga jualannya.

Pesanan datang, tangan Ani sigap menyendok bahan-bahan ke dalam mangkuk berwarna putih. Tampilannya sekilas mirip bubur sumsum karena terdiri atas kembang tahu yang berwarna putih dan jahe hangat berwarna cokelat bening.

Ketika sendok berbahan aluminium berisi cairan jahe dan kembang tahu masuk ke mulut, rasa hangat dan langsung menyelimut kerongkongan. Juga bercampur manis yang berasal dari gula. Begitu kembang tahu yang berwarna putih itu menyentuh lidah, orang bisa langsung mengira bahwa itu adalah susu kedelai, tetapi dalam bentuk lebih padat.

Meski tampilannya sederhana, ternyata wedang tahu memiliki sejarah panjang dan nilai-nilai budaya yang tinggi. Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Heri Priyatmoko menyebut, wedang tahu kali pertama masuk ke Semarang pada akhir abad ke-19 oleh seorang Tionghoa bernama Ong Kiem Nio.

Dalam tulisannya berjudul Silang Sejarah dan Budaya, Heri mengungkapkan awalnya wedang tahu dijual hanya dengan dipikul, bukan gerobak. Lalu, bahannya berbeda dengan yang ada saat ini.

Dulu wedang tahu di kemunculan perdananya dibuat dari sari kedelai yang beraroma jahe dan dicampur dengan kembang tahu. Lalu ditambahkan pula udang-udang kering kecil (rebon), kecap asin, irisan sayur, daun bawang serta ketumbar. "Saat itu, wedang tahu dinikmati sembari menggigit cakwe atau mantou [sejenis bakpao China]," tulis Heri.

Sejak dibawa oleh Ong Kiem Nio, wedang tahu ternyata semakin populer di lidah masyarakat Semarang. Namun, perkembangan zaman ternyata membawanya ke bentuk yang lain. Bentuk awal wedang tahu yang gurih ternyata lama kelamaan ditinggalkan. Masyarakat mengolahnya dengan cara yang berbeda dan membuatnya bercita rasa manis seperti saat ini.

Kembang tahu yang berasal dari sari kacang kedelai kini bisa pula digantikan dengan susu kedelai yang dicampur dengan serbuk agar-agar. Lalu kuahnya dibuat dari rebusan jahe yang dicampur gula (gula pasir atau gula merah) dan, agar lebih harum, ditambahkan daun pandan, daun jeruk, kayu manis hingga cengkih.

Dalam prosesnya minuman wedang tahu ini ditemukan pula di wilayah Pecinan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di Solo, Jawa Tengah, wedang tahu disebut tahoek, di Surabaya, Jawa Timur disebut tahuwa, di Singkawang Kalimantan Barat disebut bubur tahu, di Palembang, Sumatra Selatan dan Bangka Belitung dikenal sebagai kembang tahu.

Kentalnya akulturasi budaya dalam kuliner seperti wedang tahu semakin membuka mata kita bahwa Indonesia memang berdiri di atas keberagaman. Budaya Indonesia merupakan hasil dari pergaulan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang sudah berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu.

 

Menyantap semangkuk wedang tahu menggelitik kesadaran bahwa hubungan sosial antarwarga di tanah Indonesia diikat oleh kemajemukan yang terbina selama berabad-abad. Makanan seperti wedang tahu seharusnya menjadi perekat kebangsaan yang akhir-akhir ini diguncang dengan isu-isu SARA.

 

Heri menyimpulkan begini. "Aspek makanan merupakan perekat relasi sosial yang ampuh. Buktinya, kita menyantap hasil olah kreasi tanpa menyoal perbedaan etnis".

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dapat Bantuan Dana Rp14 Miliar, Ini Ruas Jalan yang Akan Diperbaiki Pemkab Gunungkidul

Gunungkidul
| Kamis, 25 April 2024, 17:47 WIB

Advertisement

alt

Anak Kekurangan Vitamin D, Risiko Kena Eksim Meningkat

Lifestyle
| Kamis, 25 April 2024, 10:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement