Advertisement

Naik Kereta Menembus Dinginnya Puncak Es Abadi Jungfrau

Anggi Oktarinda
Kamis, 21 Februari 2019 - 08:35 WIB
Maya Herawati
Naik Kereta Menembus Dinginnya Puncak Es Abadi Jungfrau Foto pegunungan Alpen, Swis - JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harianjogja.com, BERN-Sebuah ide gila terbersit di benak Adolf Guyer-Zeller saat dia dalam sebuah perjalanan mendaki puncak gunung, di suatu hari pada 1893.

Guyer-Zeller, tokoh terkemuka di sektor perindustrian di Swiss, ingin meledakan sebuah terowongan di jalur berbatu di perut Gunung Eiger dan Mönch, dan membuat jalur kereta menuju puncak Jungfrau di jantung Alpen.

Advertisement

Ide gila yang sangat berani. Namun, masyarakat lokal pada peralihan abad 19 ke abad 20 itu menyadari adanya potensi pariwisata. Maka, ide gila Guyer-Zeller “Si Raja Kereta” pun didukung.

Pada Juni 1893, perencanaan dimulai. Guyer-Zeller sendiri yang membuat sketsa pensil konstruksi jalur kereta beroda gigi yang menembus perut tiga gunung di puncak Alpen. Juga mengurus konsesi.

Tepat 3 tahun kemudian, pekerjaan konstruksi dimulai. Sebanyak 100 tenaga kerja dari Italia dikaryakan. Dua tahun kemudian terowongan demi terowongan pun dibuat. Hingga akhirnya Jungfraujoch, stasiun tertinggi di Eropa, di dalam perut Gunung Jungfrau di ketinggian 3.454 mdpl, pun resmi dibuka pada 1 Agustus 1912.

Sebuah pekerjaan sepanjang 16 tahun, dengan drama masalah keuangan hingga kecelakaan serta cuaca teramat dingin yang menewaskan sejumlah pekerja tambang.

Menyusuri jalur kereta beroda gigi sepanjang 9,3 km di dalam perut gunung-gunung megah rangkaian Alpen itulah, saya melawat pada pertengahan November 2018 lalu.

Mengulang kembali sensasi drama pembuatan jalur kereta tertinggi di Eropa hingga ke puncaknya yang selalu ditutupi es abadi.

Berangkat dari Kota Lucerne, di suatu pagi yang cerah di pertengahan musim gugur. Angin yang bertiup tipis menghembuskan udara 9°C. Nyes terasa di pipi. Warna-warni daun yang berguguran menyemaraki jalanan Kota Lucerne yang berusia ratusan tahun.

Saya duduk di sebuah warung kopi tak jauh dari stasiun besar, menunggu Robert dari perusahaan tour and travel yang disewa tepat pada malam sebelumnya.

Ada banyak cara menuju Jungfrau. Namun, saya memilih menyewa jasa guide dari The Best of Switzerland Tours ini karena waktu yang terbatas. Tinggal 1 hari tersisa bagi saya di negeri cokelat dan keju ini. Dan saya ingin hari terakhir saya di Swiss dimanfaatkan untuk menuju puncak gunung tertingginya, Jungfrau.

Tak lama Robert muncul, bersama serombongan turis dari berbagai negara, seperti Belanda, India, Amerika, China dan negara-negara Amerika Latin.

Sebuah bus besar telah menunggu, siap membawa kami berkeliling dataran tinggi Swiss kemudian ke puncak tertinggi Eropa. Sebelum ke destinasi utama, Robert lebih dulu membawa kami mampir ke Interlaken, sebuah kota cantik yang terletak di antara dua danau di Pegunungan Alpen.

Baru kemudian dia membawa kami ke Grindelwald untuk berganti moda transportasi menggunakan kereta beroda. Menggunakan kereta inilah, saya menyusuri jalur sepanjang 9,3 km yang dibangun oleh Guyer-Zeller lebih dari 1 abad silam.

Di dalam gerbong kereta dengan kaca panorama yang super lega, saya dan wisatawan lain merayap di dalam perut gunung selama kurang lebih 1 jam, hingga akhirnya tiba Jungfraujoch di dalam perut Jungfrau.

Jungfrau di ketinggian 4.158 mdpl adalah salah satu dari puncak utama di rangkaian Alpen, dan dijuluki “Top of Europe”. Jungfraujoch sendiri merupakan komplek terpadu dengan area yang cukup luas. Di komplek ini, baik di dalam perut gunung maupun di atas tanah, terdapat sejumlah wahana, baik untuk keperluan wisata maupun penelitian.

Begitu memasuki stasiun Jungfraujoch, kita akan disambut oleh area lobi cukup luas. Di sinilah Robert meninggalkan kami agar bebas mengeksplorasi “Puncak Eropa”.

Di sisi kanan lobi terdapat coffee bar. Dan jika menaiki tangga ke atas, kita akan berjumpa dengan kantin yang menjajakan aneka makanan penghangat badan. Di sini, porsi makanannya jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Satu porsi sangat cukup untuk dua orang.

Di sisi kiri lobi, ada simbol penunjuk arah berwarna biru muda dengan tulisan “TOUR”. Jika mengikuti jalur ini, dijamin tidak akan tersesat. Mengikuti jalur itu, pertama-tama kita akan masuk ke arena Jungfrau Panorama. Ini adalah suguhan sinema 360° selama 4 menit yang menampilkan panorama pegunungan di sekitar Jungfrau, saat itu juga.

Selanjutnya ada sebuah lift yang membawa kita ke Sphinx Terrace di ketinggian 3.571 m. Hanya 27 detik! Sphinx ini adalah sebuah observatorium untuk meneliti astronomi, sekaligus hallmark-nya Jungfraujoch. Sebuah bangunan futuristik yang dibangun di atas tebing batu di salah satu puncak penuh salju.

Sama seperti di puncak Gunung Pilatus, di sini juga kita akan menjumpai kawanan alpine chough, sejenis burung gagak hitam kecil dengan paruh berwarna kuning. Hanya saja, kawanan alpine chough di Jungfrau tidak seramah kawanan di Pilatus. Mereka cenderung menjaga jarak dari manusia. Lebih sering terbang mondar-mandir dari pada mendarat dan menghampiri pengunjung.

Ada pula Aletsch Glacier, arena terbuka untuk melakukan berbagai jenis olahraga salju seperti snowtubes, ski atau snowboard. Mungkin inilah salah satu dari sangat sedikit tempat di dunia di mana kita bisa bermain salju sepanjang masa. Baik musim dingin maupun musim panas, atau musim gugur seperti waktu ketika saya berkunjung.

Kembali ke perut Jungfrau, ada Alpine Sensation. Sebuah area yang ‘colorful’, penuh cahaya dan iringan musik. Area ini menawarkan sensasi tur ke era masa kini dan masa lalu pariwisata di Jungfrau. Era ketika turisme pertama kali muncul di kawasan Jungfrau, juga ketika Guyer-Zeller tampil dengan idenya meledakan dinamit untuk membangun terowongan menembus Jungfrau.

Menyusuri Alpine Sensation, kita juga akan menemukan sebuah terowongan yang menampilkan nama-nama para pekerja yang menjadi korban saat pembangunan Jungfraujoch.

Masih di dalam perut Jungfrau, kita juga akan disuguhi sekumpulan karya seni berupa patung yang terbuat dari bahan es. Umumnya berbentuk binatang-binatang tahan dingin seperti beruanag kutub, penguin, dan gagak. Ada juga patung es Charlie Caplin lengkap dengan topi dan tongkatnya. Dengan suhu rata-rata -7°C, patung-patung ini mampu tetap utuh selama bertahun-tahun.

Dari mengunjungi komplek patung es, kita bisa kembali ke area terbuka ke sisi lain gunung, yakni Plateau. Tempat paling pas untuk memandang panorama Jungfrau yang megah, suram, dingin dan bagai tak kenal ampun.

Berdiri di salah satu sudut di sisi Jungfrau ini, memandang lepas ke hamparan es abadi yang melapisi dinding gunung batu, mau tidak mau imajinasi saya terbang ke era pembukaan wahana wisata ini 1 abad silam.

Sejauh mata memandang, hanya ada salju dan ketinggian yang cantik, eksotik, sekaligus mencekam. Namun, rasanya seperti memanggil untuk kembali bertandang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemkab Gunungkidul Alokasikan Rp5,8 Miliar untuk Program Air Bersih, Ini Lokasi Pembangunannya

Gunungkidul
| Minggu, 27 April 2025, 12:57 WIB

Advertisement

alt

Siap-siap Ambil Cuti! Cek Libur Panjang Selama Mei 2025

Lifestyle
| Minggu, 27 April 2025, 11:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement