Advertisement

Carabikang Mbah Kalim, Hidden Gem Jalan Sosrowijayan Jogja

Tri Indah Lestari/M134
Kamis, 20 Oktober 2022 - 22:22 WIB
Budi Cahyana
Carabikang Mbah Kalim, Hidden Gem Jalan Sosrowijayan Jogja Carabikang Mbah Kalim di Jalan Sosrowijayan, Kota Jogja. - Harian Jogja/Tri Indah Lestari (M134)

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Rabu pagi itu, semburat mentari pagi menemani Mbah Kalim. Tak seperti biasanya ia bangun kesiangan sehingga hanya mampu membuat adonan setengah panci besar berwarna biru miliknya.

Biasanya pada pukul 04.00 WIB subuh ia sudah mulai menyiapkan adonan, sayangnya karena bangun kesiangan proses persiapan dan berjualan pun lebih lambat dari hari sebelumnya. Sekitar pukul 05.30 WIB dua baru menyiapkan bahan. 

Advertisement

Bangun kesiangan tak menghentikan Mbah Kalim untuk tetap berdagang di Jalan Sosrowijayan, Kota Jogja. Ketika dagangan telah siap, anaknya kemudian akan memboyong panci besar berisikan adonan carabikang. Daun pisang, kertas nasi, dan plastik di letakkan dalam keranjang bambu tak lupa sekarung berukuran 5 kilogram berisi arang sebagai bahan bakar untuk memasak carabikang pun ikut dibawa. 

Pembeli yang sebagian warga sekitar datang silih berganti satu persatu tapi pasti. Jumlah yang dibeli pun bervariasi ada yang membeli lima carabikang yang dihargai Rp1.000 per buah atau dalam jumlah banyak sekaligus mulai dari 10 hingga 20 buah. Seiring dengan datangnya para pembeli, tangan rentanya pun tak berhenti menuang adonan berwarna merah muda campuran dari tepung beras, santan yang telah di masak, ditambahkan gula, garam, dan pewarna makanan. Jumlah pembeli carabikang Mbah Kalim di hari-hari biasa sepi tidak seramai di akhir pekan.

Tumpukan daun pisang dan kertas nasi pembungkus carabikang ia letakkan di atas paha seraya mengangkat carabikang yang matang dengan bantuan sebuah pisau yang berubah fungsi sebagai spatula atau memindahkannya di wadah persegi panjang di alasi daun pisang. Saat diangkat, carabikang seharga Rp. 1000 per buah itu menyebarkan aroma kenikmatan di udara pagi rasanya pun tak kalah nikmat keseimbangan rasa gurih dan manis begitu sopan memasuki rongga mulut. 

Sebelum berjualan di timur kawasan Malioboro, tepatnya di ujung Jalan Sosrowijayan dekat Hotel Grage Business Yogyakarta, Mbah Kalim berjualan di Pasar Waru selama tiga tahun.

Namun karena tanah pasar dialihfungsikan menjadi lahan perhotelan, Mbah Kalim pun harus berpindah lokasi. Meskipun Mbah Kalim pindah, pelanggan carabikang ini masih bertahan selema 40 tahun. 

“Saya berjualan sekuat tenaga saya, sekadarnya saja,” ujar Mbah Kalim yang beberapa kali mengeluh ada yang memesan Carabikangnya sebanyak 30 buah untuk pukul setengah enam pagi, sedangkan di jam tersebut ia masih menyiapkan dagangannya di bawah gubuk reyot.

Meskipun kesal ia masih begitu ramah menyapa kenalannya yang tak sengaja lewat bahkan berbagi cerita dengan para pelanggan lainnya. 

Demi menjaga kehangatan dan tekstur yang lembut, Mbah Kalim selalu memberikan pelanggannya carabikang yang baru matang, alasan di balik tangan rentanya yang tak berhenti menuangkan adonan ke cetakan bundar berjumlah delapan bulatan di dalamnya.

Gesitnya gerak tangan tak seirama dengan usianya yang sudah menginjak umur 75 tahun begitu juga dengan ingatannya terhadap pesanan pelanggan yang tak jarang ditinggal sejenak.

“Waktu masih muda saya berjualan macem-macem ada gorengan kaya pisang goreng dari pisang raja atau kepok, ketan intip juga,” ungkap Mbah Kalim.

Sekarang ia hanya fokus berjualan carabikang terkadang juga menjual kerupuk mie yang ia buat sendiri atau ketan intip.

Para pembeli dengan sabarnya menunggu Mbah Kalim memasak adonan carabikang, seraya menunggu abu arang yang terbakar ikut bertebangan sesekali kala ia mengipasi tungku kecilnya, aroma khas carabikang pun ikut mengisi indra penciuman pembeli maupun orang yang lewat, tak jarang jika bara api terlalu panas.

Mbah Kalim akan mengangkat cetakannya dan meletakkan sebilah seng tipis di atas tungku, agar tidak cepat gosong. Mbah Kalim pun tak segan berbagi tips agar carabikang tidak lengket pada cetakan, ia menjelaskan yang penting adalah cetakannya didiamkan sampai panas sekali barulah adonan dituang.  

BACA JUGA: Lezatnya Oyek Ikan Wader Kebumen di Warung India

Sekitar jam delapan pembeli yang berdatangan mulai sepi. Mbah Kalim menyesap segelas teh dengan gula satu setengah sendok yang dibawanya dari rumah, kemudian melanjutkan memanggang sisa adonan carabikang yang tinggal seperempat wadah.

Seraya menunggu adonan masak, Mbah Kalim bercerita setiap pagi sebelum berangkat jualan ia tidak sarapan namun hanya minum susu atau energen, barulah ketika jualan atau selesai jualan ia akan sarapan di rumah. Pagi itu Mbah Kalim menyapa Bu Nur, tetangganya yang berjualan nasi, gorengan, dan minuman aneka rasa. Dia kemudian membeli dua bungkus nasi yang akan dimakan entah kapan. 

Seusai berjualan, Mbah Kalim akan berjalan kaki ke rumahnya sendirian yang berjarak tiga sampai empat gang ke arah timur dari lokasi berjualan, barang-barang dagangannya akan ia tinggalkan begitu saja sebab nantinya saat ia tiba di rumah anaknya akan bergegas ke tempat berjualan dan membereskan segalanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Minum Ramuan Jahe Cocok saat Puasa dan Kala Hujan

Lifestyle
| Jum'at, 29 Maret 2024, 03:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement