Advertisement

Sejarah Maladewa Sebelum Menjadi Objek Wisata Glamor Dunia

Janlika Putri Indah Sari
Rabu, 19 Mei 2021 - 23:27 WIB
Nina Atmasari
Sejarah Maladewa Sebelum Menjadi Objek Wisata Glamor Dunia Keindahan Pantai Maladewa. Maladewa atau Maldives dikenal sebagai surga dunia bagi wisatawan. - Bloomberg

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Kabar gembira bagi pencinta wisata dunia. Maladewa dibuka kembali untuk pengunjung internasional pada 15 Juli.

Melansir Bloomberg, Rabu (19/5/2021), pengunjung internasional hanya akan diizinkan di pulau resor dan kapal tinggal di atas kapal mulai 15 Juli. Pada 1 Agustus, wisma dan hotel di pulau berpenghuni akan diizinkan untuk dibuka kembali.

Advertisement

Maladewa atau Maldives dikenal sebagai surga dunia bagi wisatawan. Dengan pemandangan perairan biru kehijauan, pasir putih bercahaya, matahari terbenam yang berwarna-warni dan menjadikan paket kemewahan komplit yang banyak diidamkan.

Namun, sebelum namanya populer bagi kalangan kaum bourjuis, Maldives bukanlah salah satu tempat liburan paling glamor di dunia.

Baca juga: Viral di Medsos, Begini Daya Tarik Batukaras Pantai Pangandaran

Melansir dari cnn.com, Rabu (19/5/2021), menurut Mohamed Umar Maniku dan tiga temannya yang membuka Kurumba sebagai resor wisata pertama di negara itu pada tahun 1972, tidak ada dermaga di sana.

Pengunjung harus mengarungi air setinggi pinggang untuk pergi dari perahu ke pantai. Saat itu kebanyakan yang datang adalah jurnalis dan fotografer dari Italia.

Meskipun belum ada vila di atas air dengan dasar kaca dan pesawat amfibi, terlihat jelas bahwa Maladewa telah melakukan keajaibannya. Saat ini, terdapat lebih dari 100 resor yang tersebar di lebih dari 1.200 pulau.

Sebagai resort pertama di Maldives, Kurumba memiliki arti buah kelapa dalam bahasa Dhihevi lokal Maladewa.

Baca juga: Danau Laet Pilihan Alternatif Destinasi Wisata Alam di Sanggau

Lahan resort tersebut awalnya adalah perkebunan kelapa yang tidak berpenghuni. Sekarang menjadi sebuah resor mewah di Maladewa.

Atas idenya tersebut, beberapa orang menyebut Maniku dengan julukan orang yang membangun surga.

Saat itu, fondasi bangunan pertama Maniku terbuat dari karang dan batu kapur. Apa pun yang tidak ada disana harus dibawa menggunakan kapal dan bisa memakan waktu hingga tiga bulan untuk sampai.

Kemudian, surat kabar datang terlambat berbulan-bulan dan layanan telepon tidak konsisten. Maniku mengemas pasta gigi dan keperluannya, karena tidak ada toko di pulau itu.

Sebelum dijadikan tempat pariwisata, hanya ada sekitar dua penduduk di pulau tempat Kurumba sekarang berada.

Karena masih minim hiburan, tak ada fasilitas kelas paddleboarding atau speedboat ke pulau terpencil untuk makan malam romantis di bawah bintang-bintang seperti sekarang.

Tidak banyak yang bisa dilakukan wisatawan selain memancing dan berjemur. Namun mereka nikmatinya. “Mereka sangat senang. Beberapa dari mereka, terlalu sering berjemur seperti lobster,” kenang MU.

Meskipun Kurumba kini lebih populer sebagai vila kelas atas dan restoran mewah, padahal masa-masa awal lebih seperti pelarian kaum hippie.

Maniku mengatakan dulu hiburannya mengadakan barbekyu terbuka. Dan kemudian ada yang bermain gitar.

Di kamar tamu, keran mengeluarkan air payau. Dan toiletnya sangat tidak memadai. Meskipun saat itu penuh keterbatasan, orang-orang masih gemar ke Maldives.

Saat ini hal yang tidak berubah adalah penduduk pulau masih memanen kelapa dengan cara kuno. Merak menggoyang-goyangkan pohon agar buah kelapanya jatuh.

Kini Maldives yang populer bukanlah wujud asri pulau seperti dulu. Bahkan sebelum Covid-19 muncul, ada masalah ancaman perubahan iklim dan kenaikan air laut.

Tidak seimbangan lingkungan tersebut terlihat di bawah ombak pada safari snorkeling di banyak lapisan karang. Hal itu terlihat bila pulau menghadapi kerusakan akibat polusi, erosi, dan perubahan iklim.

Hussain Sendi Rasheed yang dikenal secara luas dianggap sebagai bapak industri selam Maladewa mengatakan mengajari orang cara menyelam hanyalah sebagian kecil dari dalam merawat perairan Maladewa.

Rasheed telah bekerja lama untuk melarang pembunuhan hiu dan menjual gigi mereka sebagai souvenir.

Kerja keras tersebut terbayar pada tahun 2010, ketika Maladewa menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang sepenuhnya melarang penangkapan hiu. "Setiap spesies yang hidup di sini penting bagi kami," tutup Rasheed sambil memandangi air laut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

AHY Menegaskan Tidak Akan Ada Lagi Asal Menggusur di IKN

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 09:47 WIB

Advertisement

alt

Mulailah Perjalanan Kuliner di sepanjang Pesisir Aegea di Turki

Lifestyle
| Jum'at, 26 April 2024, 03:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement