Advertisement

Mengenal Pendekar Roti Kolmbeng Terakhir di Jogja

Sirojul Khafid
Sabtu, 24 September 2022 - 17:07 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Mengenal Pendekar Roti Kolmbeng Terakhir di Jogja Suasana pembuatan roti kolmbeng di Kulonprogo, DIY, Kamis (15/9/2022). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

JOGJA-Roti kolmbeng itu baru keluar dari mandeng, sejenis oven tradisional berbahan tanah liat. Asap tipis mengepul di atas cetakan kolmbeng. Perempuan tua yang sedang bekerja mengambil beberapa kolmbeng dari cetakan. Dia letakkan di atas piring.

Erfina Reticia Aryanti mencicipi kolmbeng yang masih hangat. Dia mengunyah pelan, seakan meresapi setiap gigitan kolmbeng yang berada di mulutnya. Meski ternyata tidak hanya rasa manis dan lembut dari roti kolmbeng yang dia rasakan, justru kenangan masa lalu lah yang lebih banyak muncul.

Advertisement

Gigitan roti tradisional ini membawa Erfina pada masa-masa belasan tahun lalu, saat dia belum menginjakkan kaki di Taman Kanak-Kanak (TK). Hampir setiap hari, kala itu, Erfina pergi ke sawah bersama kakek. Dalam tas hijau yang mirip milik tentara milik kakeknya, selalu tersedia roti kolmbeng untuk bekal makan di sawah.

“Dulu waktu belum masuk TK, daripada di rumah, kakek selalu ngajak ke sawah kalau pagi. Saat kakek nyangkul atau lainnya, aku nunggu di gubuk. Di gubuk itu kalau istirahat aku makan kolmbeng,” kata Erfina yang saat ini berusia 21 tahun.

Perempuan asal Sleman ini ingat betul bentuk, rasa, dan tekstur kolmbeng. Setiap pagi ikut ke sawah dan makan kolmbeng tentu membuatnya hafal dengan jenis roti ini. Sejak masuk TK besar, keluarga Erfina pindah rumah, tidak lagi serumah dengan kakek.
Perpindahan ini yang membuat Erfina tidak pernah lagi makan kolmbeng.

Baca juga: Jelajah Kuliner: Leker Pak Min, Dari Imajinasi Sampai Terealisasi

“Kangen makan kolmbeng sih enggak juga, tapi kadang heran kok kolmbeng udah enggak ada. Di warung-warung udah jarang,” kata Erfina.

“Makan kolmbeng lagi di sini bikin inget kakek yang udah meninggal 2017 lalu,” lanjut Erfina saat sedang meliput Jelajah- Kuliner: Merawat Masakan Warisan Leluhur di Rumah Cipto Diono di Dusun Diran, Sidorejo, Lendah, Kulonprogo, Kamis (15/9/2022).

Jelajah ini mencoba meracik kembali masakan-masakan warisan leluhur. Jelajah yang merupakan kerja sama Harian Jogja, Badan Otorita Borobudur, dan Alfamart ini singgah di enam kabupaten yaitu Kulonprogo, Gunungkidul, Magelang, Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo.

Sudah 60 tahun memproduksi kolmbeng

Kira-kira sudah 60 tahun, Cipto Diono membuat roti kolmbeng. Awalnya, dia bekerja dengan orang di Kota Jogja untuk membuat kolmbeng, jenis roti yang sering muncul di acara-acara masyarakat seperti selapanan, doa bersama di rumah duka, dan lainnya. Lantaran tinggal di Kulonprogo, Cipto harus menginap di tempat kerjanya. Sepekan sekali, dengan menggunakan sepeda, dia bolak-balik Kulonprogo-Jogja.

Selama 38 tahun dia bekerja dengan orang. Sayangnya, rumah produksi tempat Cipto bekerja harus gulung tikar. Tidak hanya tempat Cipto bekerja, beberapa rumah produksi roti kolmbeng di sekitarnya juga tidak lama kemudian tutup. Banyak alasan, termasuk lantaran turunnya penjualan.

“Kemudian memulai usaha pembuatan roti kolmbeng secara mandiri tahun 2000,” kata Cipto.

“Dulu saya membuat roti mulai dari adonan sampai pembungkusan, jadi udah lumayan tahu prosesnya.”

Bermodal resep dari tempatnya bekerja dulu, Cipto mulai membuka produksi di rumahnya. Dalam proses awal, bahan yang diperlukan berupa tepung, telur, gula, dan air. Semua bahan ini dicampur menggunakan alat yang biasa disebut mixer.

Setelah bahan sudah tercampur, proses selanjutnya meletakkannya di cetakan. Kemudian berlanjut ke proses pemanggangan di mandeng. Mandeng berbentuk seperti gentong air. Di bawah mandeng terdapat bara api dari arang. Cetakan roti dimasukkan ke dalam mandeng.

Di sisi atas, terdapat mandeng dengan bentuk lebih kecil yang juga berisi bara api. Sehingga selama prosesnya, bagian bawah dan atas bisa matang secara bersamaan. Untuk memindahkan mandeng bagian atas, pegawai menggunakan bambu panjang. Selain agar tidak panas, bambu ini juga berguna untuk meringankan berat mandeng.

“Dari awal bikin roti kolmbeng pakai mandeng, arang, sama bambu ini,” kata Cipto.

“Dulu waktu awal-awal produksi sendiri, sehari bisa nyetak 5.000 sampai 6.000 roti kolmbeng. Sekarang sehari sekitar 1.800 roti.”

Jumlah produksi roti kolmbeng disesuaikan dengan prediksi kebutuhan di pasar. Memang secara jumlah cukup menurun, namun peminat kolmbeng tetap masih ada. Nyatanya, produksi di tempat Cipto masih terus mengebul. Belum lagi produksi kolmbeng dari dua anaknya yang masing-masing memiliki tempat produksi sendiri.

Kini, produsen roti kolmbeng di DIY hanya menyisakan ketiga tempat tersebut. Ya, satu keluarga dengan Cipto sebagai pionirnya.

Hanya tinggal satu penjual kolmbeng di Beringharjo

Dalam pemasarannya, Cipto menjualnya secara langsung kepada konsumen atau pada beberapa pedagang. Dengan harga Rp1.000 per kolmbeng, tidak jarang Cipto pembeli langsung mendatangi rumah Cipto untuk memesan dalam jumlah banyak, biasanya untuk acara tertentu.

Sementara untuk pedagang, biasanya Cipto mengantar ke beberapa tempat. Saat ini, dia mengirim ke satu pedagang di Pasar Beringharo, satu di Pasar Bantul, dan tiga di Pasar Imogiri. “Dulu banyak, sekarang pedagang kolmbeng yang saya antar di Pasar Beringharjo tinggal satu orang. Namanya Nyahlan, tokonya di sebelah Masjid Mustaqim, di sebelah Timur ada pintu masuk, nah pas di pojokan,” katanya.

Sekali mengantar ke satu pedagang, Cipto bisa membawa 300-400 roti. Kiriman selanjutnya akan berlangsung tiga hari ke depan. Jumlah ini berbeda dengan kiriman awal-awal usaha Cipto berdiri. Dulu sekali kirim bisa 1.000 roti ke satu pedagang.

Berharap rasanya tetap sama

Erfina mungkin bisa mengingat kenangannya dengan kakek karena rasa kolmbeng yang sama, antara sekarang dan belasan tahun lalu. Tidak menutup kemungkinan, hal ini tidak dia dapatkan lagi beberapa tahun ke depan. Salah satu penyebabnya, alat memasak yang mungkin akan berubah.

Kini Cipto masih menggunakan mandeng yang berbahan tanah liat. Namun pembuat mandeng, menurut Cipto, hanya tinggal satu di Jogja. Itu pun sudah tua dan sakit-sakitan. Mandeng bagian atas paling sering dipindah-pindah selama proses produksi, sehingga rawan pecah. Rata-rata dua bulan sekali, mandeng bagian atas diganti.

“Sejauh ini belum punya cadangan mandeng. Hanya yang sekarang dipakai untuk produksi. Sekali pesen bisa dua bulan proses pembuatannya. Itu pun yang buat udah tua dan sakit-sakitan sekarang,” katanya.

“Enggak tahu misal udah enggak ada mandeng, apakah ganti alat lain atau gimana.”



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemkot Siap Wujudkan Satu Kampung Satu Perawat

Jogja
| Selasa, 19 Maret 2024, 08:47 WIB

Advertisement

alt

Begini Tips Puasa Lancar Meski Masih Menyusui

Lifestyle
| Senin, 18 Maret 2024, 09:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement