Advertisement
Menikmati Sagon Hangat ala Wonosobo yang Baru Diangkat dari Atas Bara Arang
Advertisement
Harianjogja.com, WONOSOBO—Ada banyak kuliner khas Wonosobo, Jawa Tengah. Yang paling terkenal adalah mi ongklok. Namun ada satu jenis kuliner lain yang tak kalah menarik untuk dinikmati, yaitu sagon. Seperti apa sagon Wonosobo? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Nina Atmasari.
Sagon adalah salah satu jenis jajanan yang bisa ditemukan di pasar-pasar di Wonosobo. Rasanya yang gurih segaligus manis menjadikan sagon disukai oleh semua kalangan. Tak hanya disukai orang tua, jajanan ini juga bisa dinikmati oleh anak-anak. Bahan-bahannya yang alami dan sederhana membuat sagon aman untuk dikonsumsi tanpa khawatir ada bahan kimia tambahan.
Advertisement
Tim Jelajah Kuliner: Merawat Masakah Warisan Leluhur dari Harian Jogja yang disponsori oleh Badan Otorita Borobudur (BOB) dan Alfamart menjelajahi pasar Wonosobo untuk mencari sagon langsung ke pembuatnya, Selasa (25/10/2022). Salah satu penjual sagon yang ditemukan adalah Sagon Mbak Tri, yang dikenal legendaris di Wonosobo.
Sagon Mbak Tri ada di lantai 4 Pasar Wonosobo, tepatnya di los tengah, bagian tepi dekat tempat parkir. Penjualnya Pak Slamet. Pria berusia 60 tahun ini adalah generasi kedua yang menjual sagon, meneruskan usaha ibunya yang telah berjualan sejak tahun 1950-an.
“Dulu yang jualan bapak. Sejak kecil saya membantu ibu berjualan jadi bisa meneruskannya. Jadi setelah ibu tidak lagi berjualan, ganti saya yang jualan sagon,” kata warga Prajuritan Atas, Kelurahan Wonosobo Timur tersebut.
Sagon terbuat dari bahan parutan kelapa dicampur dengan tepung ketan. Campuran ini kemudian dicetak menggunakan mangkuk alumunium yang khas untuk cetakan sagon. Di tengah cetakan tersebut, Slamet menaburkan gula pasir lalu menutupnya dengan bahan pertama hingga cetakan penuh.
BACA JUGA: Jelajah Kuliner: Gudeg Mbah Harto Gunungkidul, Piye, Enak Gudegku Tho?
Hasil cetakan itu berbentuk bulat pipih dengan diameter sekitar 12 cm, ketebalan di bagian tepi mencapai 3 cm dan semakin ke tengah semakin menipis. Adonan dalam cetakan dicetak ini kemudian dipanggang di atas bara arang yang ia jaga baranya agar tetap menyala di atas tungku gerabah.
Setelah di atas bara, Slamet kemudian juga menutup adonan tersebut dengan piring besi yang berisi bara arang. “Bara arangnya harus dari bawah dan atas, biar matangnya bareng bagian atas dan bawah,” katanya.
Setelah sekitar setengah menit dipanggang, cetakan itu pun diangkat. Slamet langsung menumpahkan sagon dari cetakan ke meja. Jadilah sebuah sagon, yang berwarna putih kecoklatan. Menurut Slamet, ia tidak bisa memastikan warna sagon akan selalu sama sebab setiap sagon dicetak satu per satu dan kematangannya tergantung instingnya untuk mengangkat cetakan, serta tergantung dari besar kecilnya bara arang saat memasak.
Dalam sekali memasak, ia bisa mengoperasikan tiga tungku secara bersamaan. Dari cetakan yang sudah ditumpahkan, ia segera mengisinya dengan adonan lagi untuk membuat sagon baru lagi.
Sagon yang sudah di meja inilah yang siap dinikmati. Memakan sagon selagi masih hangat, rasanya sungguh lezat. Sagon bagian tepi rasanya gurih, jika sudah sampai di bagian tengah ada rasa manis dari gula.
Sagon juga bisa dibawa pulang. Sagon bisa bertahan tiga hari karena tidak ada bahan pengawetnya. Jika ingin menikmatinya dengan hangat di rumah, sagon bisa dikukus beberapa menit sebelum dimakan.
Dalam sehari, Slamet bisa menghabiskan 10 butir kelapa, 5 kg tepung ketan dan 5 kg gula pasir. Adonan itu bisa menghasilkan 200 sagon. Dibantu istrinya, Lilis, Slamet biasa berjualan mulai pukul 8 sampai 14 setiap harinya. Satu buah sagon dijual seharga Rp3.000. Pembelinya tak hanya warga Wonosobo, banyak orang sering datang dari berbagai daerah sekitar karena ingin menikmati jajanan khas Wonosobo tersebut.
Karena itulah, Slamet terus mempertahankan keaslian bentuk dan bahan Sagon. “Dari dulu sagon bentuknya seperti ini, cetakannya saya buat sendiri dan tidak ingin mengubah atau mengkreasikan bentuk lain, cupaya menjadi ciri khas. Untuk bahan juga tetap seperti ini, jika mau ada tambahan bisa pisang atau coklat tapi hanya kalau ada pesanan,” katanya.
BACA JUGA: Jelajah Kuliner: Nasi Megono dan Tempe Kemul, Sarapan Khas di Wonosobo
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo Agus Wibowo mengatakan Wonosobo memiliki daya tarik wisata berbasis alam yang indah. Wisatawan yang datang tentu membutuhkan banyak fasilitas. Daya dukung amenity terhadap kebutuhan wisata yang menonjol adalah kuliner. "Kami berada di daerah dingin, adanya lapar dan maunya makan. Ini menjadi peluang yang penting bagi parwisata," katanya.
Pada akhir 2021 lalu, Kabupaten Wonosobo telah ditetapkan oleh Menparekraf sebagai kabupaten kreatif.
"Kami mendorong sektor kuliner menjadi lokomotif bagi subsektor yang lain. Kuliner telah menggerakkan subsektor fotografi, seni pertunjukan, desain grafis, film dan lainnya, akan mencari tempat yang ada kuliner khas sebagai lokasi syuting, sehingga bisa membuka lapangan kerja," ujar Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Solo Traveling sedang Tren, Ini 5 Negara Terbaik bagi Para Solo Traveler
- Penasaran Naik Lamborghini di Sirkuit Balap, Ini Simulatornya Pertama di Asia
- Festival Cokelat Nglanggeran Segera Digelar, Bermacam Produk Cokelat Bakal Dihadirkan
- Digelar Lagi, Ini Jadwal Festival Prawirotaman dan Fashion on the Street Prawirotaman
- Ini Dia Surganya Solo Traveler di Asia Tenggara
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement